Hari Arafah “Titik Balik dan Pembebasan”
jeparamu.or.id, JEPARA – Keistimewaan bulan Dzulhijah, selain sebagai bulan haram juga memiliki momentum istimewa. Keistimewaan saat dimana seseorang mampu meraih kembali satu tekad bulad dalam merubah dirinya dengan pandangan kehidupan dalam meraih kesuksesan yang sejati. Inilah proses menuju titik balik (Turning point). Upaya pembersihan dan mensucian hati akan sangat penting dan memengaruhi proses hidup seseorang. Manusia yang bentukan katanya seakar dengan kata nasiya, maknanya adalah lupa. Memang terkadang bahkan kecenderungan manusia menjadi sosok yang lupa atau lalai. kadang tersengaja atau tidak, hingga ia terbangun kesadarannya akan kekhilafan dan kealpaan di hadapan Allah Swt. Simbolisasi pakaian ihram adalah bagian dari bersihnya dan beningnya hati agar hati menjadi pendorong dan penggerak seluruh anggota tubuh untuk menggerak diri dalam ketundukan kepada Tuhannya. Sebagaimana ketundukan makhluk di jagad raya yang berkeliling seakan seperti thawaf mengelilingi pusat tata surya.
Demikian juga ritual dalam rangkaian ibadah haji yaitu wukuf di padang Arafah, dengan suasana yang sangat mengharu biru, berkumpul bersama lautan jamaah haji. Mereka teriring dengan sarat nilai ketundukan, kepasrahan, dan melepaskan simbol-simbol duniawi secara totalitas. Sikap diri dengan cara menanggalkan simbol kekuatan diri yang menjerumuskan, seperti jabatan, kekayaan dan egoisme diri agar hati berada dalam kondisi “zero” dari kepentingan dunia sesaat. Dengan demikian ia dimampukan menembus titik pusat kemuliaan dihadapan Allah Swt.
Manusia sangat perlu untuk mengingat kembali akan peringatan (tadzkirah) Allah yang Maha Rahman. Sifat kasih dan sayang Allah Swt. kepada hambaNya dengan memberikan tadzkirah (Peringatan) ini, agar manusia terus terjaga dalam situasi yang konsisten dalam keyakinannya (iman), sehingga stabilitas spiritualitas dan jasmaninya terjaga baik. Upaya mengingat kembali dalam bentuk dzikir, tafakkur dan istighfar pada suasana dan momentum yang tepat saat hari Arofah. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Abu Qatadah :
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِىَ الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ … صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ …[رواه الجماعة إلا البخارى والترمذى]
“Dari Abu Qatadah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW ditanya … tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: (Puasa hari Arafah itu) menghapus dosa-dosa satu tahun lalu dan satu tahun yang akan datang…” [HR jemaah ahli hadis kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi].
Hadits tersebut bukan semata-mata hanya sebatas merasa terjaminnya fasilitas berupa ampunan dari Allah, lalu leha-leha tanpa ada aktivitas positif atau bahkan malah membuat kemaksiatan baru karena merasa sudah terampuni baik setahun yang lalu maupun setahun yang akan datang. Na’udzubillah. Tetapi justru seharusnya ia mendominasikan seluruh jiwa raganya berada dalam genggamanNya. Ada nilai rasa takut (khasyah) dan ada nilai rasa berpengharapan kepada Allah dengan sifat Maha PengampunNya.
Hari Arofah sebagai hari yang istimewa ini dapat menjadi saat terpenting untuk muhasabah diri (flash back). Sungguh naif, bila seseorang tak mampu menguak jati dirinya, jauh dari kesadaran diri ia pun hanya mengikuti arus derasnya tarikan magnet keindahan dunia yang euforia dan fatamorgana. Lalu terlalaikan akan tugas dan peran utamanya dalam pengabdian kepada Rabnya. Demikian juga ia telah lupa kalau dirinya menjadi bagian dari peradaban yang semestinya ia terus berproses menjadi pemberat kemaslahatan di muka bumi.
“Dunia” seakan lebih cenderung pada kelalaian dan menjerumuskan bagi siapapun yang tak mau memetik pesan Tuhannya dalam mengarungi hidupnya. Demikian jelas tertera dalam pesan tertulis di dalam al Quran yang berisi kisah nyata kehidupan seseorang yang menjadi simbol obyek untuk menjadi ibrah bagi setiap hamba. Seperti Kisah Nabi Ibrahim dalam QS Al Mumtahanah ayat 4 dan QS al Ahzab ayat 21, sama-sama menggunakan kata “qad” yang diikuti dengan uswatun hasanah. Memang hanya ada dua tempat surat dan ayat dalam al Quran yang “meminta’ kepada para pembacanya agar terbangun spirit mengambil inspirasi berupa ibrah dari kisah yang benar (haq) di dalamnya. Uswatun hasanah yang ada di dua tempat surat dan ayat tersebut dapat dimaknai suri tauladan yang telah dikonsepsikan dalam al Quran dan sangat penting untuk dijadikan sebagai inspirasi dalam memedomani dan prinsip dalam mengarungi kehidupan.
Momentum seperti inilah yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mendekat sedekat-dekatnya dengan Rab yang Maha Rahman. Menjadi titik balik dalam membebaskan diri dari tarikan dunia yang menjerumuskan, karena jelas janji Allah, karena Allah Swt. memberikan jaminan perasaan nyaman damai dalam menghadapi kehidupan yang demikian kompleksnya. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis :
Akhmad Faozan
(Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mayong)